LAMPU MERAH
Siang hari, di pertigaan jln. Soekarno-Hatta. Menjelang lampu merah menyala, para pengendara
sepeda motor dari arah berlawanan segera menancap gas motor mereka, seakan
kehilangan sesuatu yang begitu berharga kala lampu yang merah itu mendahului
mereka. Pengamen, penjaja Koran, penjaja makanan, serta pengemis terlihat
menanti di sebelah barat jalan dengan raut wajah mereka yang mengkerut, harus
menahan sinar matahari yang begitu terik.
Langit tampak cerah dengan
mega-mega yang berkumpul dan berpisah silih waktu. Lampu kuning mulai menyala,
pertanda cahaya lampu akan menempati yang warna merah. Para pengendara mobil, angkot,
sepeda motor, berturut-turut hampir
menghentikan lajunya. Akhirnya cahaya lampu berpindah ke warna merah, detik lampu
menunjukkan durasi tiga perempat menit. Penghuni jalan mulai melancarkan perannya.
Ialah seorang pengemis wanita paruh baya dengan rambut putih sebagian, terikat
karet gelang, pakaian lusuh, tebalnya debu yang membentuk raut muka, si
pengemis memasang wajah melas, berjalan separuh bungkuk menyusuri para pengguna
jalan, langkahnya tertatih-tatih, berharap ada dermawan yang sudi memberinya
receh.
Pengamen tak mau ketinggalan, mulai memainkan gitar tuanya yang
penuh dengan tempelan gambar wajah musisi yang ia gemari. Dengan potongan
rambut era 80-an, memainkan lagu masa kini yang begitu kontras dengan
penampilannya. Terus berdendang di depan kaca mobil sebelum akhirnya berpindah ke arah angkot di belakang mobil
sebelumnya. Penumpang angkot yang sebagian besar adalah mahasiswa terlihat acuh
dengan kedatangan pengamen lelaki itu. Salah satu dari mereka seorang perempuan
muda sedang asyik dengan HP canggih yang ia beli minggu kemarin. Satu lagi seorang
lelaki berlagak seperti aktivis kampus seakan tak mendengar apapun kecuali
headset di kupingnya. Penumpang lainnya membisu menghadap ke arah jendela mobil
dengan tatapan hampa.
Ternyata di kursi paling belakang seorang ibu dengan senyum
tipisnya perlahan mengulurkan tangannya yang terselip dua buah uang logam ke arah pengamen itu. Pengamen pun membalas
senyuman dengan menganggukkan kepalanya sembari mengucapkan terima kasih dengan
bahasa krama inggilnya yang halus. Menit lampu masih berjalan lima belas detik.
Angin siang begitu kencang, sementara si penjaja koran telah siap dengan
beritanya yang murah meriah. dengan topi hitam pekat di kepalanya, ia mengitari
sela-sela kendaraan. Berbekal suara yang lantang ia mengenalkan berita dan
informasi yang sedang ia tawarkan. Tiada hentinya mengulang-ulang kata-katanya.
Salah satu pengendara mobil yang tertarik dengan beritanya,
memanggilanya dari kejauhan. Sang penjaja koran pun bersigegas mendatangi ke
arah sumber suara. Sang pembeli pun akhirnya membukakan kaca mobilnya sembari
meraba uang pada suatu tempat di sebelah kirinya. Sang pembeli menukarkan satu
lembar uang seribu rupiahnya untuk satu koran berisi beberapa halaman berita.
Ternyata belum betul-betul selesai bertransaksi, ada pengendara mobil lain yang
memanggil, si tukang koran pun bergerak cepat secepat burung walet yang sedang
terbang di atasnya. Rupanya berita yang ia bawa menarik minat beberapa orang
untuk membelinya, ia pun tersenyum girang. Menjelang 17 detik terakhir, di sisi
lain penjaja makanan menggendong sebuah kardus yang berisi aneka makanan
ringan, dua buah tali sebagai pengikat kardus melilit dua pundaknya. Hawa yang
terlalu panas tak dihiraukannya lagi. Dengan celana panjang yang ia pakai, kaos
oblong, dan sepatunya yang pucat pasih ia berjalan sambil menyebutkan
makanan-makanan yang ia bawa lengkap dengan harganya. kelihatannya tak seorang
pun ingin membeli makanannya. Panas siang mungkin telah membakar habis keinginan
orang-orang terhadap makanan. Detik terus berlalu, sebaliknya si penjaja
makanan seakan tak ingin hengkang dari jalan. tiga detik menjelang lampu hijau,
beberapa pengendara motor tampak menyiapkan sepeda motornya, menarik gas
berulang-ulang, lampu reting pun dinyalakan. Lampu yang merah kini akhirnya
menghijau. Bel sepeda motor bebek memecah keheningan yang sesaat. Mobil terdepan
melaju lambat, diikuti mobil angkot di belakangnya, sepeda motor dan begitu seterusnya.
Setelah itu semua berlalu, beberapa detik kemudian, menit, jam bahkan beberapa
hari setelahnya. Waktu memang benar-benar berlalu, tetapi sungguh sayang, sedikit
sekali yang berubah.
Oleh:
Iwan Sujarwo
23/08/2013 3.05