Fenomena Surga & Neraka
Meluruskan Pandangan Hidup
Oleh: Roni Jamaloedin
Tujuan hidup
seseorang, “pasti” inginnya yang
enak-enak dan serba kecukupan. Jauh dari masalah-masalah berat yang membelit
kehidupan. Semua kebutuhan yang diingini tercukupi. Hingga yang paling puncak,
matinya dapat masuk surga (sebuah tempat yang menjanjikan berjuta-juta
keindahan, kenikmatan, kebahagiaan, yang sama sekali tak dapat dibayangkan
sebelumnya).
Namun
sebaliknya, tak seorangpun terbersit keinginan hidupnya sengsara. Sama sekali
tidak ingin yang namanya rekasa kaningaya lan kangelan. Hingga
puncaknya benar-benar menjauhi/menghindari yang namanya neraka. Tersenggol pun
jangan, apalagi tercebur di dalamnya, sebab ia merupakan tempat “penyiksaan”
yang tiada tara dahsyatnya, bengisnya, kejamnya, sakitnya, dst-dst, yang tak
dapat lagi diuraikan dengan kata-kata ciptaan manusia. Sampai-sampai di sabda
nabi SAW: “ Walau api neraka itu besarnya seujung jarum, ia sanggup
menghanguskan dunia dan seisinya”.
Anehnya,
walau wacana tentang surga dan neraka tersebut belum dapat dibuktikan
(dirasakan) secara pasti keberadaannya, namun hampir semua orang menjadikannya
tujuan hidup. Ia telah diwariskan secara turun temurun dari para nenek moyangnya
terdahulu. Baik yang sifatnya alami maupun dipaksakan(wajib diwariskan).
Naifnya lagi, para anak cucu sekarang, termasuk kita mungkin juga generasi
mendatang percaya begitu saja “retorika”
tersebut. Bahkan cenderung lansung membenarkannya. Hampir tidak ada yang
menggali dan mengkritisi hingga jablas kandas tuntas pakem yang sebenarnya.
Keadaan
tersebut menandakan begitu hebat dahsyatnya sebuah pendidikan yang didoktrinkan
sejak kanak-kanak. Si anak yang belum bisa berpikir benar tidaknya sebuah persepsi,
lansung melahap semua teori yang diberikan tanpa disertai pemikiran cerdas sama
sekali. Sebuah metode pendidikan yang hikmahnya sangat luar biasa, hingga
mengakar dalam pemikiran bahkan menembus ruh dan jiwa. Kemudian menyatu dengan
darah dan nafas kehidupan sehari-hari.
PAKEM ASLI
Secara sufisme-eksperience, pakem
asli kehidupan dunia (dari sononya) adalah sebagai ujian. Sebuah konsekuensi
atas kesanggupan menerima amanah dari-Nya, yang notabene amanah tersebut tidak
ditawarkan kepada manusia, melainkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung.
Mereka semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya...(QS.33:72)
Kehidupan
dunia adalah amanah sekaligus ujian yang harus dijihadi dengan yang
sebenar-benarnya “jihad”. Dengan satu target: agar bisa pulang lagi kepada-Nya.
Serangkaian materi test yang harus diselesaikan sebagai “syarat mutlak” bisa
ketemu lagi dengan-Nya. Andai seorang “tarzan” yang ujiannya sejak lahir
dibuang di tengah hutan maka pakem hidupnya adalah bisa bertemu lagi dengan
orang tuanya.
Materi
ujiannya berupa anak istri, keluarga, harta, pekerjaan, jabatan, bahkan jiwa
raganya sendiri, dan segala macam bentuk system-metode aktivitas kehidupan
lainnya. Ditambah dengah berjuta-juta artefak (budaya, teknologi, transportasi, komunikasi, aneka
permainan maupun kesenangan) ciptaan manusia. Kesemuanya menambah rumit, berat,
dan kompleksnya ujian. Yang mengerikan, materi tersebut benar-benar membuat
pengerjanya lupa sama sekali(mabuk kepayang), bahwa bagaimanapun keadaannya (kehidupan
dunia), ia tetap ujian.
Di samping
memabukkan, ironisnya lagi, ia dibuat menjadi sangat-sangat indah mempesona dan
menarik. “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan (alat transportasi
yang canggih/modern), binatang-binatang ternak dan sawah ladang
(pekerjaan). Itulah kesenangan hidup di dunia” (Q.S. 3:14). Padahal mestinya,
sang pengujinya yang harus dicintai, bukan materi ujiannya.
Sayangnya
pakem asli mengalami pergeseran makna. Terdiferensiasi menjadi beribu-ribu
pakem lain, yang masing-masing berusaha berdiri sendiri. Tidak mau
berintegrasi(mengerucut) pada pakem aslinya.
Misalnya
ungkapan “hidup adalah perjuangan” . perjuangan sendiri ternyata banyak
maknanya. Ada yang memaknai dengan perjuangan menggapai sukses, perjuangan
memakmurkan dunia, perjuangan menggapai dunia akherat, perjuangan mendapatkan
“surga” dan lain sebagainya. Sedang pakem aslinya mengatakan hidup adalah
sarana (perjuangan) bertemu Tuhan. Ad-dunya mazro’atul akhiroh, bahwa dunia
adalah ladangnya akhirat.
Bukannya
perjuangan masuk surga atau menghindari dari neraka. Sebab, surga neraka adalah
milik-Nya. Urusan hamba adalah memproses diri agar bisa bertemu dengan-Nya.
Perkara dimasukkan surga-neraka mutlak menjadi urusan-Nya. Tidak sepantasnya hamba
ikut main campur urusan-Nya. Tidak sepantasnya bila hamba ikut main campur
urusan-Nya. Bila ternyata amal perbuatannya pas sesuai kriteria-Nya,
sewajarnyalah bila akhirnya dimasukkan ke dalam surga, sebagaimana yang telah
dijanjikan. Begitu pula sebaliknya, bila amalnya tidak pas sesuai kriteria-Nya,
walau diyakini sudah pas dengan petunjuk-Nya, maka tetaplah neraka sebagai
imbalannya.
Pakem “bertemu
Tuhan” ini pun mengalami distorsi. Banyak yang berasumsi bahwa setelah mati
nanti pasti bertemu dengan-Nya. Setelah bertemu, barulah masuk surga atau
neraka. Bila ternyata masuk neraka, maka setelah ditebus dengan berbagai
siksaan, tentu akan dimasukkan surga. Bahkan sudah optimis “pasti masuk surga”.
Sedang pakem
aslinya, tidak semua kematian bisa bertemu lagi dengan-Nya. Orang-orang “super
khos” telah membuktikannya. Yaitu mereka yang telah dianugerahi “hidayah
khusus” oleh-aNya dengan terlebih dahulu nglakoni (menjalani) ilmu khos
pethingan (rahasia)-Nya. Melalui pandangan “mata hati”-nya yang tajam, dapat
melihat pasca kehidupan seseorang. Baik ruh yang tersesat (ditangkap oleh wadya
balanya penasaran: jin, syetan, tuyul, gendruwo, demit dan lain sejenisnya)
maupun ruh yang selamat masuk akherat bertemu dengan Tuhan).
Logikanya,
orang buta tentu tidak akan pernah sampai kota Roma, walau beribu-ribu jalan
terbentang ke arahnya. Satu-satunya kunci mutlak mencapainya adalah ”berguru”
pada yang tahu pasti tentang Roma. Apalagi terhadap Tuhan yang al-ghoib, mana
mungkin juga bisa bertemu dengan-Nya, sementara hati nurani, roh, dan rasanya
“buta” terhadap-Nya, belum/tidak tahu secara pasti Wujud/Dzat-Nya?
Fenomena Surga Neraka
Hampir semua ummat terjebak oleh
paradigma kehidupan para pendahulunya, bahwa “ending” kehidupan adalah surga.
Hidup dan ibadahnya kemudian demi mendapat surga. Oleh karenanya masuk surga
dan terhindar darinya adalah segala-galanya (final target) dan dijadikanlah
tujuan hidup (way of life).
Persepsi
seperti itu sama sekali tidak benar. Sebab, surga dan neraka adalah milik-Nya.
Yang benar, bertemu dengan pemilik surga-neraka adalah segala-galanya.
Sebagaimana wasiat sunan kalijaga “inna al-jannata laqiya rabba”
sesungguhnya surga itu tempat/suasana bertemunya hamba dengan Tuhannya.
Fungsi dasar
dimunculkannya imbalan surga dan ancaman neraka adalah pengiming-iming (daya
tarik, daya pikat) dan pemicu (cambuk) sebab, tanpa ada iming-iming/ancaman
yang berupa surga/neraka, manusia tidak mau mengerjakan seruan rasul-Nya.
Maunya sak karepe dewe, nggugu benarnya sendiri, bahkan merasa cukup dengan
pendapat/ide/pengetahuan yang ada pada dirinya. Terlanjur kelet (terpatri)
dengan dunia beserta alam pikirannya masing-masing, hingga tak butuh sang
pemilik dunia maupun sang pemilik pikiran.
Persis kisahnya
anak kecil, agar mau mengerjakan perintah orang tuanya maka kepadanya perlu
diiming-imingi (dijanjikan) permen/uang dan mainan. Tetapi begitu pikirannya
dewasa, dapt berpikir bahwa mengerjakan perintah orang tua adalah keharusan,
maka tidak lagi mengharap permen/uang yang telah dijanjikan. Melainkan mengharap
ridho dan kasih sayangnya. Selanjutnya masih pantaskah kita (yang telah bisa
berpikir ini) membantu kerepotan orang tua yang telah membesarkan kita, demi
mengharap imbalan (pemberian) darinya? Masih pantaskah seorang hamba beribadah
kepada TuhanNya karena mengharap surga dan dijauhkan dari neraka? Oleh karenanya,
sangat bijaklah kiranya bila mencermati, merenungi lebih dalam lagi, sekaligus
mempraktekkan “MUTIARA LANGIT” pengalaman pemikiran sufi agung Rabiah Adawiyah
dalam sebuah puisi romantisnya :
“ya Rabb, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakar
aku dalam neraka dan jika aku menyembahm-Mu dengan mengharap surga, haramkan
dia bagiku. Dan jika aku menyembah-Mu karena diri-Mu semata, jangan cabut aku
dari keindahan abadi-Mu”
Lebih dari
itu, sanggupkah kita membumikan ke dada yang paling kritik “pahit manis” Crisye
dan Ahmad Dhani dalam syair sebuah lagu: “jika surga dan neraka tak pernah
ada, masihkah kau sujud kepada-Nya”?
Roni Jamaloedin
Pondok at-taqwa (Posmoda)
Tanjunganom Nganjuk
The 7 casinos with the highest grossing slots in the world
ReplyDeleteIn 서귀포 출장샵 The Matrix. At The Star Casino 서울특별 출장마사지 in Las Vegas, you can 파주 출장안마 play at 광주 출장샵 one of four casinos and have a 천안 출장샵 chance to win your